Pajak Penjualan Tanah: Dasar Hukum dan Penghitungannya
- Anindhita Nugraha
- 25 Sep
- 2 menit membaca

Transaksi jual beli tanah tidak hanya melibatkan negosiasi harga dan kepemilikan. Ada aspek hukum dan perpajakan yang harus diperhatikan agar prosesnya sah, aman, dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Pada artikel ini, dijelaskan dasar hukum untuk pajak dalam jual beli tanah, jenis-jenis pajak yang terlibat, cara menghitungnya, dan hal-hal penting yang perlu diperhatikan agar transaksi berjalan lancar.
Dasar Hukum Pajak Penjualan Tanah
Penjualan tanah di Indonesia diatur oleh beberapa perundang-undangan yang mengikat, sehingga tidak boleh dilakukan asal-asalan. Salah satu dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994Ā yang mengatur tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Selain itu, ada juga regulasi lain seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997Ā yang memberikan kewenangan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk menolak akta jual beli jika syarat-syarat perpajakan (termasuk pelaporan PPh) belum dipenuhi.
Jenis Pajak dalam Penjualan Tanah
Dalam jual beli tanah, tidak hanya satu jenis pajak yang terlibat. Ada beberapa pihak yang harus membayar pajak sesuai posisi mereka:
PenjualĀ harus membayar PPh (Pajak Penghasilan)Ā atas penghasilan dari jual tanah.Ā
PembeliĀ wajib membayar BPHTBĀ (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).
Kadang juga ada PPN (Pajak Pertambahan Nilai), terutama jika tanah tersebut dijual oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau ketika tanah dianggap sebagai persediaan.Ā
Cara Menghitung Pajak Penjualan Tanah
Berikut adalah langkah-cara sederhana menghitung jenis-jenis pajak yang terlibat:
PPh untuk Penjual
Tarif: 2,5%Ā dari harga tanah yang disepakati dalam transaksi.
Contoh: jika tanah dijual dengan harga Rp 200.000.000, PPh adalah 2,5% Ć Rp 200.000.000 = Rp 5.000.000.
BPHTB untuk Pembeli
Dasarnya adalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), setelah dikurangi dengan nilai NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak).
Tarif BPHTB biasanya 5%Ā dari NJOP (setelah dikurangi NPOPTKP).
Contoh: kalau NJOP tanah adalah Rp 20.000.000 setelah pengurangan, maka BPHTB = 5% Ć Rp 20.000.000 = Rp 1.000.000.
PPN untuk Pembeli
Jika tanah dijual oleh PKP atau dianggap sebagai persediaan, PPN sebesar 10%Ā dari harga jual tanah bisa dikenakan.
Contoh: tanah seharga Rp 200.000.000 ā PPN = 10% Ć Rp 200.000.000 = Rp 20.000.000.
Hal-Hal Penting yang Perlu Diperhatikan
Agar transaksi jual beli tanah tidak bermasalah, beberapa hal berikut harus diperhatikan:
Keaslian dan keabsahan sertifikat tanah di Kantor Pertanahan harus diverifikasi.
Penjual harus sudah menyelesaikan kewajiban PPh sebelum dibuat Akta Jual Beli (AJB) oleh PPAT.
PPAT tidak akan membuat atau menandatangani AJB jika bukti pembayaran PPh belum ada.
Pastikan semua syarat administratif terpenuhi agar tidak terjadi sengketa atau kerugian bagi salah satu pihak.
Kesimpulan
Penjualan tanah di Indonesia melibatkan beberapa pajak yang berbeda tergantung pada siapa pihaknya dan status tanahnya. Penjual harus mengurus PPh, pembeli harus mengurus BPHTB, dan dalam kasus tertentu juga ada PPN. Penting untuk mengikuti dasar hukum yang berlaku, memastikan semua kewajiban perpajakan dipenuhi sebelum proses jual beli diselesaikan, serta menghitung pajak dengan tepat agar tidak terjadi masalah hukum atau administratif. Dengan memahami aturan dan proses ini, baik penjual maupun pembeli bisa menjalani transaksi secara aman dan sah.



Komentar